kiprah_muhammadiyah.pptx
File Size: 46 kb
File Type: pptx
Download File

 

Jumat, 27 Februari 2009 09:11

Lembaga pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah sudah banyak sekali jumlahnya, mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Hampir di setiap kota, bisa diketemukan lembaga pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh organisasi sosial keagamaan ini. Jumlah perguruan tingginya saja lebih dari seratus, baik berbentuk akademik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
Muhammadiyah dalam membangun lembaga pendidikan tidak sebagaimana cara yang dilakukan oleh pemerintah. Lembaga pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dari bawah. Seseorang yang memiliki semangat atau panggilan jiwa untuk berdakwah melalui pendidikan, dengan bekal yang kadang seadanya, merintis lembaga pendidikan. Bekalnya adalah niat dan tekad yang kuat.
Dengan berbagai cara, mereka mengumpulkan hal-hal yang diperlukan, seperti dana, sarana dan prasarana serta tenaga untuk memulai membuka lembaga pendidikan yang akan didirikan itu. Oleh karena mereka menjadi anggota atau bahkan masih sebatas simpatisan, maka lembaga pendidikan yang dirintis itu dinamai Muhammadiyah. Pemerintah, dalam membangun pendidikan, biasanya tidak seperti itu. Sumber inisiatif biasanya datang dari pemerintah pusat kecuali beberapa, inisiatif itu berasal dari pemerintah daerah. Selain itu semua hal yang terkait dengan berbagai kebutuhan, lembaga pendidikan pemerintah sudah disiapkan.
Proses berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti itu, maka menjadikan lembaga pendidikan tersebut benar-benar dirasakan sebagai milik masyarakat, yaitu warga Muhammadiyah. Selain itu, dengan proses yang dilalui seperti itu, maka tingkat perkembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda, tergantung pada potensi dan lebih khusus lagi pada integritas pribadi pimpinan yang mengelola lembaga pendidikan itu.
Jika lembaga pendidikan Muhammadiyah kebetulan dipimpin oleh orang yang ulet, kreatif, penuh semangat juang, -----mau berkorban, maka akan maju. Sebab dengan sifat-sifat pengelola seperti disebutkan itu, mereka akan selalu berusaha membesarkan lembaga pendidikannya dengan berbagai cara yang bisa mereka tempuh. Orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu tidak mau berhenti dari berjuang. Yang dipikirkan olehnya adalah bagaimana lembaga pendidikannya semakin maju dan berkualitas. Orang seperti ini biasanya tidak mau mencari untung dari lembaga pendidikan, dan justru sebaliknya. Apa yang dimiliki di rumah akan dibawa ke sekolah yang sedang dikelolanya.
Pertumbuhan lembaga pendidikan seperti ini, ternyata tidak luput dari pesoalan. Lembaga pendidikan yang semula dirintis dari bawah tersebut, karena bernama Muhammdiyah, maka selanjutnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di lingkungan Muhammadiyah. Sekalipun tidak mendapatkan bantuan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, maka semua halnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada organisasi ini. Termasuk misalnya, setiap tahun harus memberikan sumbangan dana organisasi. Demikian juga menyangkut kepemimpinannya, harus ditetapkan oleh organisasi sesuai dengan tingkatannya. Misalnya, untuk Taman Kanak-Kanak, yang memiliki wewenang menetapkannya adalah Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Kepala Sekolah Tingkat Menengah, SMP dan SMU, menjadi wewenang Pimpinan Muhammadiyah Wilayah, dan Pimpinan perguruan tinggi ditetapkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Managemen lembaga pendidikan swasta seperti itu menjadi lebih terjamin keberlangsungan hidupnya, karena kekuatannya bukan terletak pada individu atau orang perorang, melainkan pada organisasi dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang jelas. Selanjutnya, dengan manajemen seperti itu, penanggung jawab bukan bersifat perseorangan, tetapi adalah lembaga atau persyarikatan. Namun sebaliknya, manajemen seperti itu ternyata juga memiliki kelemahan. Tatkala organisasi ini secara ketat dan disiplin berpegang pada ketentuan organisasi, maka bisa jadi orang-orang potensial dan bahkan perintisnya sendiri harus enyah dari lembaga pendidikan itu. Misalnya, pada awalnya perintis lembaga pendidikan tersebut sekaligus ditetapkan pimpinannya. Akan tetapi karena ada aturan di lingkungan Muhammadiyah bahwa jabatan sebagai pimpinan harus mengikuti ketentuan yang ada, sekalipun mereka sebagai perintis maka, mau tidak mau harus mengikuti ketentuan itu. Mereka tidak boleh misalnya, menjabat lebih dari dua periode berturut-turut.
Secara organisasi hal seperti itu baik untuk dijalankan. Akan tetapi, dalam banyak kasus ketentuan ini juga menjadi titik lemahnya. Tatkala organisasi belum terlalu kuat, dan sebaliknya justru kekuatan tersebut baru terletak pada orang-orang yang ada di organisasi itu, maka disiplin organisasi seperti itu ternyata tidak terlalu menguntungkan. Orang-orang yang sesungguhnya menjadi kekuatan organisasi, harus meninggalkan peran-peran strategisnya. Jika hal itu benar-benar terjadi, sedangkan penggantinya tidak sekuat perintis atau pimpinan sebelumnya, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah, akan berpengaruh, dan bisa jadi selanjutnya akan stagnan.
Dalam mengelola lembaga pendidikan, memang banyak hal yang perlu dilihat secara kritis, dan dipertimbangkan. Terkait dengan ini terasa delematis. Jika Muhammadiyah ingin menjaga kedisiplinan organisasi secara ketat, maka tata aturan organisasi harus ditegakkan. Siapapun tidak boleh keluar dari aturan organisasi, termasuk terhadap orang yang menjadi perintisnya sendiri. Akan tetapi jika pilihan atau orientasinya adalah kemajuan, maka mempertimbangkan berbagai hal, termasuk mempertimbangkan aspek sejarah, kekayaan SDM yang tidak gampang dicari, keberlangsungan kemajuan dan seterusnya, adalah sangat diperlukan. Dalam mengambil langkah-langkah kebijakan perlu lebih arif dan bijak.
Beberapa tahun terakhir, persoalan yang tampak delematis itu ternyata diketahui dan disadari oleh orang-orang Muhammadiyah sendiri, tidak terkecuali oleh para tokohnya. Selanjutnya mengetahui problem seperti itu, sehingga tidak sedikit tokoh Muhammadiyah tatkala mendirikan lembaga pendidikan baru, tidak serta merta memberinya nama Muhammadiyah, ----organisasi keagamaan yang dicintainya, melainkan dibubuhkan nama lain, yang tidak ada kaitannya dengan nama besar organisasi keagamaan tersebut. Strategi ini, mungkin bisa ditafsiri agar kelak tidak terkena aturan yang berakibat memisahkan dirinya sebagai perintis dengan lembaga pendidikan yang dibangunnya itu sendiri. Melihat kenyataan seperti itu, memang perlu dirumusan ketentuan yang fleksibel, sehingga mengamankan bagi semuanya, baik organisasi maupun pribadi-pribadi yang sudah banyak berjuang yang memang harus mendapatkan pengakuan sebagaimana mestinya.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jumlahnya sedemikian besar di tanah air ini adalah merupakan model pendidikan yang khas, baik dari sisi manajemennya, isi maupun orientasi yang dikembangkan. Lembaga pendidikan yang berstatus swasta ini hidup dan berkembang dari kekuatan idealisme, semangat mengabdi dan sekaligus beribadah, kecintaan yang diperjuangkan yang diikuti oleh kesediaan berkorban. Kekuatan itu semua ternyata melahirkan ketahanan hidup dan semangat maju yang luar biasa. Tidak sedikit lembaga pendidikan, bahkan yang dikelola oleh pemerintah, selalu mengeluh karena terbatasnya dana, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak menghiraukan itu semua. Dengan kekuatan yang ada, mereka melakukan yang terbaik apa yang bisa dilakukan. Semuanya itu selayaknya dijadikan kekayaan, bahan kajian dan sekaligus renungan, bahwa ternyata kekuatan penyelenggaraan pendidikan tidak selalu ada pada jumlah anggaran, melainkan pada semangat, idealisme, cita-cita, kecintaan, perjuangan yang diikuti oleh semangat berkorban itu. Belajar dari lembaga pendidikan Muhammadiyah, maka justru di sinilah sesungguhnya letak kunci keberhasilan pengembangan lembaga pendidikan itu. Wallahu a’lam

 
PEREMPUAN DALAM KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH

Oleh: Muhammad Izzul Muslimin

Mungkinkah perempuan memimpin persyarikatan Muhammadiyah ? Dalam batas wacana pertanyaan itu dapat dijawab dengan tegas, bisa! Jangankan memimpin persyarikatan Muhammadiyah, memimpin negara pun Muhammadiyah tidak berkeberatan. Pernyataan ini muncul bukan karena saat ini presiden Indonesia sedang dijabat oleh seorang wanita, tetapi hal itu sudah menjadi keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih pada Muktamarnya yang ke XVII di Pencongan, Wiradesa Kabupaten Pekalongan pada tahun 1972. (Soal bolehnya kepemimpinan perempuan menurut pandangan Muhammadiyah  dapat dibaca dalam Adabul Mar’ah fil Islam pada  bab VIII dengan judul “Bolehkah wanita menjadi Hakim?”).

            Pertanyaan yang patut diajukan kemudian, mungkinkah wacana perempuan menjadi pemimpin itu dapat diterima di Muhammadiyah tidak hanya sebatas wacana tetapi menjadi sebuah realitas yang diterima secara lebih terbuka? Muhammadiyah memang tidak menolak wanita menjadi pemimpin, tetapi mungkinkah Muhammadiyah mendorong kaum perempuan tampil menjadi pemimpin?

            Realitas menunjukkan masih sulit bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi pemimpin. Di samping persoalan syariat, masih ada persoalan struktur dan kultur sosial yang menyebabkan seorang pemimpin perempuan susah dilahirkan. Di lingkungan Muhammadiyah sendiri peran perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi otonom Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya bukan organisasi kaum laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat sedikit wanita yang menduduki posisi pimpinan dalam Muhammadiyah. Kalaupun ada mungkin hanya di Majelis atau Lembaga Pembantu Pimpinan.

Problem Kepemimpinan Perempuan             Sebenarnya dengan mewadahi para perempuan Muhammadiyah di Aisyiyah maupun Nasyiatul Aisyiyah, para perempuan Muhammadiyah memiliki kiprah dan andil yang sangat besar dalam mengembangkan Muhammadiyah terutama di lingkungan masyarakat paling bawah. Kegiatan pengajian dan pendidikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) yang merupakan kegiatan Aisyiyah sangat menonjol di lingkungan kehidupan masyarakat yang paling bawah, yaitu pada tingkat kampung dan desa. Denyut nadi Muhammadiyah di level bawah justru banyak diwarnai oleh pengajian ibu-ibu Aisyiyah yang notabene adalah aktivitas Muhammadiyah perempuan. Kenyataan ini sangat berkebalikan pada tingkat elit dimana kepemimpinan perempuan Muhammadiyah kurang tampak menonjol. Popularitas dan suara tokoh Aisyiyah tidak setenar dan selantang popularitas dan suara  teman seperjuangannya yang berada di Muhammadiyah yang umumnya kaum laki-laki.

            Mengapa tokoh Aisyiyah mengalami hambatan demikian? Ada dua kemungkinan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, mungkin karena posisi subordinat Aisyiyah sebagai organisasi Otonom Muhammadiyah yang menjadikan tokoh perempuan Muhammadiyah menjadi gamang untuk bersikap atau bersuara. Ada kekhawatiran jika mereka bersikap atau bersuara, ada kemungkinan akan berbeda dengan Muhammadiyah, yang berarti melanggar ketentuan dimana organisasi otonom harus segaris dengan kebijakan Muhammadiyah. Kedua, dalam posisi subordinat maka tokoh perempuan Muhammadiyah tidak terbiasa menghadapi persoalan-persoalan besar yang biasanya menjadi garapan dan tanggung jawab Muhammadiyah.    

Kenyataan yang ada dalam Muhammadiyah ini sebenarnya juga melanda hampir sebagian besar Ormas lainnya di Indonesia, bahkan boleh dikatakan itu sudah menjadi realitas sosial bangsa ini dimana dominasi patriarkhi memang masih sangat besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tetapi dengan melihat posisi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam dan gerakan modernis Islam di Indonesia, kenyataan ini sangatlah memprihatinkan. Muhammadiyah  sangat diharapkan bisa menjadi pelopor pemberdayaan perempuan Islam dalam peran sosial kemasyarakatannya setelah sebelumnya Muhammadiyah dianggap cukup berhasil dalam mempelopori peningkatan pendidikan kaum perempuan Islam di Indonesia.

Pemberdayaan perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah suatu konsekuensi logis dari upaya pemberdayaan pendidikan kaum perempuan. Ketika tingkat pendidikan kaum perempuan telah cukup baik dan sejajar dengan kaum laki-laki, maka adalah sangat logis jika mereka juga diberi kesempatan dan peran sosial yang sama nilainya dengan para kaum laki-laki.

Rekayasa Kepemimpinan Perempuan             Kepemimpinan perempuan akan sangat sulit dilahirkan selama struktur sosial tidak diubah atau direkayasa.  Kesadaran untuk melahirkan kepemimpinan perempuan memang harus berangkat bersama-sama dari kaum laki-laki dan perempuan. Pernyataan yang mengatakan “biarlah perempuan berjuang sendiri untuk mendapatkan kepemimpinannya” akan sangat tidak bijak ketika keadaan tidak kondusif untuk menuju ke arah demikian. Membiarkan kaum perempuan berjuang sendiri untuk melawan dominasi laki-laki juga akan berdampak kepada munculnya perasaan iri, bahkan permusuhan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki mengingat kaum perempuan kenyataannya secara struktural dan kultural mereka tidak diberi kesempatan yang sama fair-nya dengan kaum laki-laki.

Di sisi lain, rekayasa yang berlebihan sehingga seolah menganak-emaskan kaum perempuan dalam meraih posisi kepemimpinannya dibandingkan kaum laki-laki juga akan berdampak tidak baik bagi kaum perempuan itu sendiri maupun bagi laki-laki. Oleh karena itu perlu dicari formulasi yang tepat dimana rekayasa sosial untuk melahirkan pemimpin perempuan di satu sisi tidak menimbulkan sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan dan pada sisi yang lain tidak menganak-emaskan kaum perempuan.

            Memunculkan kepemimpinan perempuan seharusnya tidak didasari atas pertimbangan karena dia perempuan, tetapi harus berangkat dari pengakuan atas potensi kepemimpinan seseorang terlepas apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian, yang perlu diciptakan adalah bagaimana seseorang yang memiliki bakat kepemimpinan baik laki-laki maupun perempuan, diberikan peluang yang sama dalam meraih posisi kepemimpinannya.

Perlukah Perempuan Mendapatkan Jatah Kepemimpinan ?             Ada yang menarik ketika pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar bulan Januari lalu membahas soal keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Dalam pembahasan Anggaran Rumah Tangga mengenai pasal kepemimpinan, ada perdebatan yang seru mengenai perlu tidaknya perempuan secara eksplisit dinyatakan harus masuk dalam kepemimpinan Muhammadiyah.

Ada sebagian pandangan yang mengatakan bahwa dengan mencantumkan perempuan secara eksplisit dalam kepemimpinan Muhammadiyah justru akan mengesankan adanya diskriminasi dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Padahal sampai saat ini Muhammadiyah tidak pernah menghalang-halangi perempuan untuk masuk dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Artinya dengan dicantumkannya secara eksplisit jatah kepemimpinan bagi perempuan justru memberi kesan seolah-olah perempuan bisa masuk dalam kepemimpinan Muhammadiyah hanya karena belas kasihan, bukan melalui proses seleksi yang wajar. Sebaliknya ada juga pandangan lain yang berpendapat bahwa tanpa dieksplisitkannya keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah maka akan sangat sulit dicapai kesempatan bagi para perempuan masuk dalam kepemimpinan. Hal ini bukan karena persoalan kemampuan yang menjadi kendala, tetapi lebih karena faktor sosio kultural yang belum mendukung. Oleh karena itu dengan dicantumkannya secara eksplisit keberadaan kaum perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah justru memberi kesempatan yang lebih besar bagi para perempuan Muhammadiyah tanpa harus terhambat masalah di luar soal kemampuan.

Nampaknya sebagian besar anggota Tanwir lebih memilih alasan yang kedua, yaitu mencantumkan secara eksplisit keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Hanya saja semangat untuk memasukkan unsur perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah itu terpaksa harus ditunda karena ada perbedaan teknis yang belum dapat diputuskan dalam sidang Tanwir yang lalu. Persoalan teknis tersebut ialah berkaitan siapa yang berhak mewakili kepemimpinan perempuan dalam Muhammadiyah. Sebagian anggota Tanwir menginginkan agar siapa saja perempuan anggota Muhammadiyah yang dianggap mampu dan memenuhi syarat dapat menjadi pimpinan Muhammadiyah.  Sementara pendapat lain menghendaki agar kepemimpinan perempuan dalam Muhammadiyah diwakili secara ex-offisio oleh ketua Aisyiyah.  Akhirnya Tanwir memutuskan untuk mengagendakan persoalan ini pada sidang Tanwir tahun yang akan datang.

Terlepas dari perbedaan pendapat siapa unsur perempuan yang tepat untuk duduk dalam kepemimpinan Muhammadiyah, tentu keputusan Tanwir yang lalu merupakan sebuah kemajuan besar bagi Muhammadiyah, dan bila itu dapat terealisasikan maka dapat dikatakan Muhammadiyah punya peran besar dalam proses pemberdayaan kepemimpinan perempuan di masa depan.

Tantangan Bagi Kaum Perempuan Muhammadiyah Yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana agar peluang besar yang dibuka oleh Muhammadiyah melalui Anggaran Rumah Tangganya tersebut dapat direspon secara positif oleh warga Muhammadiyah baik perempuan maupun laki-laki. Para anggota Muhammadiyah perempuan hendaknya mulai sekarang harus menata diri sehingga ketika peluang itu dibuka nantinya tidak lagi timbul kegamangan dari para perempuan Muhammadiyah untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para partnernya yang laki-laki. Jangan sampai timbul kesan bahwa perempuan dapat memimpin di Muhammadiyah hanya karena ada dispensasi. Akan lebih baik jika para perempuan Muhammadiyah masuk menjadi pimpinan Muhammadiyah karena melalui proses seleksi yang fair dan didasarkan atas kualitas kemampuannya, bukan sebagaimana kekhawatiran sebagian pihak, jadi pimpinan karena rasa belas kasihan.

Demikian pula bagi para anggota Muhammadiyah yang laki-laki, sudah saatnya dalam alam pikirannya memberi peluang bagi para perempuan untuk memimpin, ketika memang mereka punya kapasitas untuk itu. Jangan sampai karena egonya sebagai laki-laki lalu menghambat perempuan untuk berprestasi dan beramal di Muhammadiyah dengan berlindung dibalik alasan syariat, budaya, maupun etika.

Selamat berjuang kaum perempuan Muhammadiyah, umat menanti kiprahmu !

Sumber:

Suara Muhammadiyah

Edisi 08 2002